Police reports (Surat Tanda Melapor, Surat Tanda Melapor Diri, Surat Keterangan Lapor Diri and Surat Keterangan Catatan Kepolisian) under Indonesian law
There is a lot of confusion among foreigners about the names, functions and requirements of police reports. This article clarifies this.
Surat Tanda Melapor/Surat Tanda Melapor Diri/Surat Keterangan Lapor Diri — report of (self) to the police
In order to understand the issue, we must start in 1954.
Government Regulation number 45 of 1954 was for “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Orang Asing yang berada di Indonesia”. I quote the Indonesian title so we can be sure we are comparing apples with apples, so to speak. Essentially this means to the ‘implementation [of] oversight towards foreigners in Indonesia’. ‘Pengawasan’ is ‘oversight’. This law wrote:
(1) Tiap-tiap orang asing yang mendapat kartu izin masuk di Indonesia harus melaporkan diri kepada Kantor polisi dari tempat tinggalnya atau tempat kediamannya segera setelah ia mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman.
(2) Apabila seorang asing yang dimaksud dalam ayat 1 pindah,maka ia sebelum itu harus memberitahu kepada kantor polisi dari tinggal atau tempat kediamannya yang lama tentang waktu kepindahannya dan kemana ia akam pindah, dan dalam tujuh hari setelah tiba di tempat tinggalnya atau tempat kediamannya yang baru ia harus melaporkan diri kepada kantor polisi setempat.
(3) Mereka yang telah melaporkan diri diberi keterangan dari kantor polisi yang menerima laporan itu.
The important words here were ‘every foreigner must melaporkan diri kepada Kantor polisi’, i.e. report themselves to the police station after arriving in Indonesia/moving within Indonesia, and that the police would issue a ‘keterangan’ or statement, as proof of this report
This 1972 news article shows that the statement/keterangan was by then called the Surat Tanda Melapor Diri, or Letter of Receipt of Self Report
Immigration law in Indonesia was not substantially reformed from the 1950s until 1992–1994. The 1992 Immigration Act was implemented via the Government Regulation Number 30 of 1994.
At Article 19
(1) Setiap orang asing yang memperoleh Izin Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Tetap, wajib melapor kepada Kantor Kepolisian Republik Indonesia ditempat tinggal atau kediamannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak memperoleh izin tinggal tersebut.
(2) Setiap orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila pindah alamat wajib melapor kepada Kantor Kepolisian Republik Indonesia ditempat tinggal atau kediamannya yang lama dan yang baru, dalam jangka waktu tujuh hari sejak tanggal kepindahannya.
(3) Setiap orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah melapor kepada Kantor Kepolisian Republik Indonesia setempat diberi surat keterangan lapor diri.
That was similar to the wording of the 1954 law, and made clear that a foreign resident who had received an ITAS or ITAP was required to report to the police and receive a ‘surat keterangan lapor diri’ as proof of report. As discussed, SKLD is exactly the same thing as ‘surat tanda melapor diri’ (STMD).
This is NO LONGER LAW. The 2011 Immigration Act came into the force with the passage of its PP 31/2013, on 16 April 2013. This replaced the 1993 regulations, with the following key changes:
- the concept of a ‘Penjamin’ or ‘Sponsor’ was introduced for the first time. The Penjamin is responsible for changes of address to immigration as part of immigration pengawasan:
Pasal 192
Dalam melakukan pengawasan Keimigrasian, setiap Penjamin wajib melaporkan:
a. setiap perubahan mengenai identitas diri dan/atau keluarga Orang Asing yang dijaminnya; dan/atau
b. setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, atau perubahan alamat Orang Asing yang dijaminnya,kepada Kepala Kantor Imigrasi atau Pejabat Imigrasi setempat yang berada dalam lingkup Orang Asing bertempat tinggal, bekerja, dan/atau berdomisili.
- Foreigners who are visiting Indonesia for tourist purposes using a visit visa waiver, a paid visa on arrival, or a paid-in-advance tourist visa, do not have a penjamin.
- All other foreigners must have a penjamin who sponsors their stay. The penjamin is required to report changes of address of the foreigner TO THE IMMIGRATION OFFICE.
Therefore we can see that there are two mutually incompatible immigration concepts:
- the 1954–2013 concept, where the foreigner reported themselves to the police as part of immigration pengawasan
- the 2013-onwards concept, where the penjamin of the foreigner reported them to immigration as part of immigration pengawasan.
There is a separate duty for the foreigner to report the changes, also to the immigration office:
Pasal 71
Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib:
a. memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau
b. memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian
Failure to do this is an offence:
Pasal 116
Setiap Orang Asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
It can be seen that police no longer have the main role in the immigration pengawasan of foreigners. In particular, immigration are given special responsibility to investigate immigration offences under the immigration law.
The police however retain a general power to investigate all criminal offences, on the basis of the Constitution and the Policing Act of 2002. As restated in the Omnibus Law:
Pasal 15
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
… (i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
That is the police have the authority to perform functional policing pengawasan of foreigners in coordination with the relevant body.
Meanwhile immigration perform the immigration pengawasan of foreigners, which includes the ‘administrative actions’ of detention and deportation for certain immigration offences. This allows immigration to act without treading on the police’s toes in terms of their respective authority.
So why do we still hear of a ‘surat tanda melapor’ (STM — now usually without the D), even though it’s not a legal duty to report to the police any more?
Fundamentally the Population Law of Indonesia is Law 23 of 2006. Under the Implementing Regulations, technical regulations for population administration are done via Peraturan Bupati or Peraturan Walikota, as provided in the 2019 version of the Population Law Regulations (similar rules were in the 2007 version):
Pasal 20
Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c, bupati/wali kota menetapkan petunjuk teknis penyelenggaraan urusan Administrasi Kependudukan dengan Peraturan Bupati/Wali Kota.
Before we consider any regional laws, we must consider what is population administration/law. This is defined in Article 1 of the Population Law.
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
That is that ‘Population Administration means the issue of documents and population data’, and ‘Population means Indonesians and foreigners resident in Indonesia’.
Therefore, Population relates to foreigners who are resident in Indonesia. Thus the subjects of population law are:
- holders of ITAS (izin tinggal terbatas)
- holders of ITAP (izin tinggal tetap)
And not:
- holders of izin tinggal kunjungan (visitors) — subjects of immigration law alone
- holders of izin tinggal dinas (foreign officials) and izin tinggal diplomatik (foreign diplomats) — subjects of Foreign Affairs law
So, population law creates no responsibilities for foreigners who entered on visit visas/visit visa waivers. The main responsibilities it creates to go to the civil registry office are:
Pasal 20
(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang datang dari luar negeri dan Orang Asing yang memiliki izin lainnya yang telah berubah status sebagai pemegang Izin Tinggal Terbatas yang berencana bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal Terbatas.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Tempat Tinggal.
(3) Masa berlaku Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Terbatas.
(4) Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibawa pada saat berpergian.
Pasal 21
(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang telah berubah status menjadi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal Tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan KK dan KTP.
That is, that the holder of an ITAS must apply for a Surat Keterangan Tempat Tinggal, or SKTT, which is a ‘statement of address’, within 14 days of the issue of their ITAS, and it is valid for the length of their ITAS. This serves the same function as a KTP for Indonesians.
And, the holder of an ITAP must apply for a KTP (kartu tanda penduduk or ID card) and KK (kartu keluarga) within 14 days of the issue of the ITAP.
For the issue of either document, we must refer to the local regulations. For example, for Jakarta the regulation is Pergub 93 of 2012.
This says:
Pasal 21
(1) Persyaratan untuk penerbitan SKSKPS dan SKTT baru dan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a adalah sebagai berikut:
a. Asli dan Fotokopi Izin Tinggal Terbatas;
b. Asli dan Fotokopi Paspor;
c. Surat Keterangan Lapor Diri dari Kepolisian (SKLD);
d. Surat Rekomendasi/lzin Kerja dari Instansi terkait;
e. Lembar mutasi Pengawasan Orang Asing;
f. SKTT dan SKSKPS lama; dan
g. Surat Keterangan Keterlambatan (F-OS.18)
Since this PerGub was made in 2012, it naturally references the pre-2013 law, which provided for a SKLD (‘report of self’) from the police in order to issue the SKTT (‘declaration of address’).
If we refer to the Jakarta Disdukcapil website, we will find that they do not ask for the SKLD, which makes sense, because the police are not supposed to issue it! (Further, there is an extent to which the regional Disdukcapil is supposed to make administrative decisions further to the national law, so it is probably reasonable for them to ignore their own Peraturan in order to more closely follow the requirements of the national law.)
If we look at another area’s laws, for example the Peraturan Bupati Bandung of 2010 specified that for an ITAS holder:
a SKLD was required in order to issue the required SKTT.
And for an ITAP holder to issue a KTP:
they needed a ‘Surat Keterangan Catatan Kepolisian’.
The SKCK, previously known as SKKB, is a criminal record check.
The 2010 government regulation on police payments regulated the prices of both SKCK and SKLD:
That is, a SKCK cost 10,000rp, a SKLD for an ITAS holder 100,000rp and a SKLD for an ITAP holder 200,000rp. Thus we can see that the 2010 Bandung regulation unnecessarily requested a ‘criminal record check’, when in fact the appropriate document was a ‘self-report’.
The 2016 (and also 2020) version of the national law on police fees removed the tariff for the SKLD, and increased the price for a SKCK to 30,000rp. This was further to the order of the Head of Police further to the 2013 implementation of the 2011 immigration act, in SPRIN/2471/XII/2013 that the police no longer perform SKLD, which as we’ve discussed was the same as STMD:
It can clearly be seen from the 2010 police fees law that the ‘self-report’ (SKLD) was a service incurring a fee, and an appropriate requirement for obtaining a SKTT or KTP under local regulations.
Some areas of Indonesia have produced new ‘Peraturan Bupati’/Walikota, which correct the law to remove the no longer issuable STMD/SKLD. For example, the 2019 Bandung regulation now states for the issue of a KTP for a foreigner:
Pasal 11
Penerbitan KK baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, untuk:
Penduduk Orang Asing harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. formulir permohonan yang diisi lengkap dan benar;
2. izin tinggal tetap;
3. buku nikah/kutipan akta perkawinan atau kutipan akta perceraian atau yang disebut dengan nama lain; dan
4. surat keterangan pindah bagi Penduduk yang pindah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pasal 22
Penerbitan KTP-el baru bagi Penduduk Orang Asing yang memiliki izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan:
a. formulir permohonan yang diisi lengkap dan benar;
b. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun, sudah kawin, atau pernah kawin;
c. KK;
d. Dokumen Perjalanan; dan
e. kartu izin tinggal tetap
It can clearly be seen that all references to the police have been removed, and as per a 2021 article they are following this. (The 2018 PerBup for Semarang, still follows the old rules, unfortunately.)
For Badung, Bali, the Disdukcapil website asks for Surat Tanda Melapor from the police. However, the Peraturan Bupati Badung 9/2011 specifies a SKCK:
Pasal 19
(2) Persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh Surat Keterangan Pindah Datang Orang Asing Tinggal Terbatas adalah :
b. klasifikasi Antar Kabupaten / Kota dalam satu Provinsi atau Luar Provinsi :
1. menyerahkan Surat Keterangan Tempat Tinggal;
2. menyerahkan Foto copy Paspor dengan menunjukkan aslinya;
3. menyerahkan Foto copy Kartu Ijin Tinggal Terbatas;
4. menyerahkan Surat Keterangan Catatan dari Kepolisian;
5. Menyerahkan pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) buah.
(3) Tata Cara perolehan Surat Keterangan Pindah Datang Orang Asing Tinggal Terbatas adalah sebagai berikut :
b. klasifikasi antar Kabupaten dalam satu Provinsi / luar Provinsi :
1. pemohon melapor kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan membawa persyaratan lengkap;
2. pemohon mengisi dan menandatangani formulir surat keterangan pindah datang ;
3. kepala Bidang Administrasi Kependudukan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi, mencatat, BIP dan BMP, membubuhkan paraf pada Surat Keterangan Tempat Tinggal;
4. operator kependudukan melakukan perekaman dalam database kependudukan, membubuhkan paraf pada Surat Keterangan Pindah Datang Orang Asing Tinggal Terbatas;
5. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Sekretaris atau Kepala Bidang Administrasi Kependudukan menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) bagi Orang Asing tinggal terbatas;
6. Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) tersebut diserahkan kepada pemohon tembusannya disampaikan kepada Camat dan Perbekel/ Lurah untuk selanjutnya dicatat dalam Buku Induk dan Buku Mutasi Orang Asing Tinggal Terbatas.
So it can be seen that the PerBup for Badung asks for a SKCK, but in practice they only ask for a Surat Tanda Melapor (STM).
Even though a SKLD was the same thing as an STMD, and the SKLD was officially banned, it seems that in nearly every area of Indonesia the police will issue an ‘STM’ (without the ‘diri’ part). The police can presumably issue this document on the basis that they are supposed to do ‘policing oversight of foreigners’, but it’s still not totally clear what the function is in the context of population administration.
Reports of foreign guests in homes/accommodation to the police
The repealed-in-1994 1954 foreigner oversight regulations wrote:
Pasal 5
(1) Pada tiap-tiap tempat penginapan harus diadakan daftar tamu orang asing tersendiri, dimana harus ditulis nama, kelamin, umur, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan, tanggal datang, asal dan tujuan serta tanda tangan tiap-tiap tamu yang menginap disitu.
(2) Pengurus tempat penginapan atau wakilnya harus meyakinkan diri bahwa sitamu adalah sungguh-sungguh orang yang diterangkan dalam daftar tamu, dengan berhak untuk minta diperlihatkan paspor atau surat pengenalan lainnya dari tamu itu.
(3) Tiap-tiap orang asing yang telah berumur enam belas tahun dan tinggal disuatu tempat penginapan harus mengisi suatu formulir, menurut contoh A yang dilampirkan pada peraturanini, dalam dua rangkap dengan dibubuhi tanda tangannya.
(4) Formulir-formulir itu disediakan oleh pengurus tempat penginapan tersebut.
Pasal 6
(1) Sehelai formulir tersebut dalam pasal 5 ayat 3 setelah diisi harus segera disampaikan kepada kantor polisi setempat dan sehelai lagi harus disimpan oleh pengurus tempat penginapan sampai satu tahun.
(2) Formulir tersebut serta daftar tamu harus setiap waktu dapat diperiksa oleh seorang anggota polisi atau seorang pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman.
That was that anyone providing accommodation to a foreigner would have to fill in a form and provide it to the police station.
This was replaced in the 1994 regulations with almost identical rules:
Pasal 9
(1) Penanggung jawab penginapan wajib menyediakan buku tamu dan daftar isian orang asing yang memuat data
(2) Penanggung jawab penginapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan daftar tamu orang asing kepada Kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat, selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal kedatangan orang asing yang bersangkutan.
(3) Penanggung jawab penginapan wajib memperlihatkan buku tamu dan daftar isian orang asing serta memberikan keterangan tentang tamu orang asing, apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi, Polisi dan aparat keamanan lainnya yang sedang bertugas.
(4) Salinan daftar isian orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disimpan oleh penanggung jawab penginapan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
The current (2013) regulations provide:
Pasal 187
(1) Pejabat Imigrasi yang bertugas dapat meminta keterangan dari setiap orang yang memberi kesempatan menginap kepada Orang Asing mengenai data Orang Asing yang bersangkutan.
(2) Pemilik atau pengurus tempat penginapan wajib memberikan data mengenai Orang Asing yang menginap di tempat penginapannya jika diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas.
Pasal 188
(1) Data mengenai Orang Asing yang menginap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 paling sedikit memuat: a. nama lengkap; b. tempat dan tanggal lahir; c. jenis kelamin; d. nomor telepon; e. kewarganegaraan; dan f. nomor paspor.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diserahkan kepada Pejabat Imigrasi dalam rangka pengawasan Keimigrasian
The huge change here compared to 1954–2013 is that the information on foreign guests is provided to the Immigration official in the framework of ‘pengawasan Keimigrasian’. In other words, this task was completely removed from the police.
The law is not completely clear in that it says elsewhere that information must be provided ‘jika diminta’ (if asked for). In general the owners of accommodation are ‘tersosialisi’ that they are required to give the details of people staying there. Therefore, in practical terms there is a standing request to accommodation owners to provide the information. Immigration have a website which allows accommodation owners and individuals to report foreigners staying in there house or accommodation, but whether there is a generalized obligation to private home owners is not very clear, but certainly there is no harm in reporting the foreigner’s stay online as a private individual.
Surat Keterangan Catatan Kepolisian
As briefly mentioned above the SKCK should not be required for population documents but appears in some local regulations. The SKCK (criminal record check) is correctly required for some purposes, such as a foreigner naturalizing as an Indonesian.
The legal requirements are stated in the Regulation of the Head of Police 18/2014.
These are:
- application letter from the person sponsoring the foreigner under immigration law or their employer
- passport photocopy
- ITAS/ITAP photocopy
- 6 x 4x6 photographs with yellow background
The police website offers SKCK online. This also asks for the employer’s permit to use them, KTP & wedding certificate of the foreign spouse, and the Surat Tanda Melapor.
Here we see that there is clear reference to the STM, as distinct from STMD. Here the document makes a little more sense, although not that much; functionally the STM is the report of a foreigner (who should have been reported to immigration by their sponsor) to the police, for the purpose of performing what amounts to the ‘pengawasan kepolisian’ of a foreigner — i.e. given that SKCK is in itself ‘pengawasan’, it is not really clear the purpose of the ‘pengawasan’ STM before that.
Conclusions
- Police reports should not be required to make population documents for foreigners but in practice they are requested under many local regulations. Some local regulations specify a SKCK, but the practice on the ground is only to ask for a STM. An STM was historically an STMD, which was replaced with a SKLD in 1993, and then the SKLD banned in 2014, and then reincarnated as the STM.
- While foreigners have no fundamental legal requirement to report to the police, most ITAS/ITAP holders will find themselves unable to obtain their legally required SKTT & KTP without obtaining an STM.
- In a few areas specific ‘PerDa’ may require a householder to report visitors locally. However this is typically not specific to foreigners but any visitor, and would be to a local village leader, not to the police.